Bahasa

Jumat, 23 Oktober 2015

Usaha Merobohkan dan Membangun Kembali Nalar Santri (Sebuah Renungan atas Pemikiran Abid al-Jabiri)

Usaha Merobohkan dan Membangun Kembali Nalar Santri

(Sebuah Renungan atas Pemikiran Abid al-Jabiri) 

Mulakhis

Upaya modernisasi turâts dengan cara menghidupkan kembali rasionalitas dan kritisisme yang ada di dalamnya, menurut Al-Jabiri, tidak akan sampai pada sebuah kesempurnaan tanpa melalui kritik terhadap perangkat berpikir yang membangun turâts  tersebut; dalam hal ini adalah nalar Arab. Nalar, dalam pandangan Al-Jabiri, adalah sejumlah kumpulan pemahaman dan sekaligus daya emosional yang akan selalu menuntun kita pada pemahaman tertentu di saat berinteraksi dengan alam.


Kritik Al-Jabiri terhadap Liberalisme sama sekali tidak berarti bahwa dia menolak secara total semua gagasan yang muncul dari luar. Menurutnya, menerima nilai-nilai dari Barat harus diawali dengan kesiapan diri umat Islam dalam mempertahankan dan memahami eksistensinya sendiri. Dengan kata lain, harus diawali dengan kemampuan umat Islam dalam mensistematiskan dan menghidupkan kembali tradisinya sendiri dengan nalar rasional dan kritis.

Iftitâh

Gelegar arus kebangkitan dalam Islam, ditambah semaraknya berbagai macam tawaran di dalamnya, mengingatkan kita akan perlunya sebuah pemikiran dalam laju kebangkitan Islam. Semua negara Islam nyaris tidak melupakan pentingnya sebuah solusi yang akan mengantarkan kita pada gerbang kemajuan. Berbagai macam tawaran, gagasan, ide dan pemikiran terus diperdebatkan demi terciptanya format ideal dalam kebangkitan dunia Islam; sebuah format kebangkitan yang diharapkan mampu mengantarkan kita menuju gerbang modernitas tanpa harus menanggalkan orisinilitas identitas kita.
Tapi, apakah dari masa kebangkitan itu muncul sampai saat sekarang ini umat Islam telah mampu mencapai angan-angannya? Atau malah sebaliknya yang terjadi: kebangkitan yang ada dalam dunia Islam tidak lain hanyalah jargon kosong yang penuh dengan kesombongan dan kebohongan, tidak mampu membawa perubahan yang signifikan dalam kehidupan; seolah-olah arus kebangkitan dan kedewasaan tersebut telah menjadi mandul dan tidak beranak lagi?
Dari sinilah Muhammad Abid Al-Jabiri, seorang pemikir Maroko, berusaha meluruskan dan memberikan pemahaman baru terhadap dunia Islam; kenapa kebangkitan yang ada dalam dunia Islam, khususnya Arab, tidak mampu menghasilkan perubahan yang signifikan dalam diri umat Islam.

Kritik Solusi dan Cara Pandang
Al-Jabiri berusaha meluruskan arti sebuah kebangkitan yang telah dipahami oleh aliran-aliran Islam yang ada, seperti Liberalisme dan Salafisme, yang menurutnya tidak mampu memberikan apa-apa, bahkan menghambat laju kebangkitan itu sendiri. Itu semua ditilik dari gagasan-gagasan yang ditawarkan oleh aliran-aliran tersebut dalam menghadapi sebuah kebangkitan. Tawaran kebangkitan dalam perspektif Liberalisme, menurut Al-Jabiri, sangat bertentangan dengan kondisi umat Islam. Akan terjadi sebuah paradoks apabila solusi  kebangkitan harus diambil dari nilai-nilai Barat, yang hegemoni dan superioritasnya telah menyebabkan umat Islam memberontak dan ingin bangkit; yang kemudian berujung pada usaha untuk menjadikan turâts sebagai mekanisme pembentengan dan perlawanan terhadap hegemoni Barat tersebut.[i]
Apa yang terjadi pada masa dahulu tidak bisa disamakan dengan masa sekarang. Loyalitas ulama klasik dalam mengakses nilai-nilai dari Barat, yaitu khazanah keilmuan Yunani, disebabkan kehadiran budaya tersebut dalam dunia Islam tidak lebih sebagai budaya asing yang tidak mengancam eksistensi peradaban Islam, berbeda dengan budaya Barat saat ini yang setiap waktu selalu mengikis jati diri peradaban Islam.[ii]
Salah satu kesalahan terbesar aliran Liberalisame, menurut Al-Jabiri, terletak pada perspektif yang menyatakan bahwa laju kebangkitan dalam Islam adalah upaya napak tilas atas apa yang telah dilakukan Barat dalam menyongsong kebangkitan.3 Dengan demikian, seolah-olah proses kebangkitan Islam sangat bergantung pada pihak lain yang ada di luarnya.
Kritik Al-Jabiri terhadap Liberalisme sama sekali tidak berarti bahwa dia menolak secara total semua gagasan yang muncul dari luar. Menurutnya, menerima nilai-nilai dari Barat harus diawali dengan kesiapan diri umat Islam dalam mempertahankan dan memahami eksistensinya sendiri. Dengan kata lain, harus diawali dengan kemampuan umat Islam dalam mensistematiskan dan menghidupkan kembali tradisinya sendiri dengan nalar rasional dan kritis. Hanya dengan itulah umat Islam mampu membebaskan diri dari ketergantungan terhadap faktor luar, baik berupa masa lalu maupun peradaban umat lain.
Sementara itu, kebangkitan dalam perspektif Salafisme adalah upaya menghadirkan kembali masa lampau dalam rahim masa sekarang.4 Promblematika kekinian harus disikapi dengan piranti-piranti yang telah diberikan oleh masa lalu. Masa lalu adalah solusi untuk masa sekarang. Apa yang dianggap tidak rasional dan tidak pantas oleh masa lalu berarti tidak rasional dan tidak pantas juga di masa sekarang. Masa lalu, atau tradisi klasik, adalah hakim satu-satunya dalam menyikapi setiap problematika modern. Masa lalu, dalam perspektif Salafisme, seolah–olah telah menelan masa sekarang dan sekaligus telah menjadi beban dalam menyongsong masa depan, sehingga setiap tindakan harus selalu disesuaikan dan diserasikan dengan masa lalu. Turâts, menurut mereka, bagaikan sebuah kaca yang harus dihadirkan bayangannya secara serupa pada masa sekarang. Itu semua pada akhirnya menuntut mereka untuk membaca turâts secara klasik (al-fahmu al turâtsiy li al-turâts), yaitu sebuah cara pandang terhadap turâts dengan kaca mata taklid, tidak kritis, dan irrasioanal, dengan cara memisahkan sisi-sisi historis dan kepentingan yang ada di dalamnya, dan tanpa adanya upaya pembaharuan terhadapnya.5
Cara pandang Salafisme dalam mengartikan sebuah kebangkitan, menurut Al-Jabiri, merupakan imbas dari hegemoni qiyâs al-ghâ`ib ‘alâ al-syâhid; sebuah metode untuk menggali keilmuan atau informasi baru dengan cara menggantungkan diri kepada keilmuan dan informasi yang sudah ada.6 Imbas dari pengaruh metode tersebut sangat kentara dalam diri umat Islam dalam menghadapi problematika kehidupan. Dalam menjawab sebuah problematika, umat Islam sangat bergantung pada faktor yang ada di luar dirinya, baik dari masa lalu maupun dari Barat. Mereka selalu menginginkan solusi yang sudah siap pakai dan enggan untuk menggali dari dirinya sendiri secara inovatif.
Cara baca Salafisme terhadap turâts , yaitu al-fahmu al turâtsiy li al-turâts,  menurut Al-Jabiri, adalah cara baca yang a-historis, yang memisahkan antara pemikiran dengan realitas yang ada di belakangnya. Dengan cara baca ini turâts akan menghegemoni dan menelan diri kita, dan bukan sebaliknya kitalah yang menelan turâts tersebut untuk kita kembangkan dan kita lampaui. Hegemoni turâts  akan menyebabkan sejarah masa silam terus membentang hingga masa sekarang. Permusuhan yang ada pada masa silam akan selalu kita ingat dan kita rasakan untuk kita teruskan dan kita perjuangan. Pengenalan terhadap periode sejarah serta bagaimana memahami dan menyikapinya tidak akan dirasakan dalam dunia Islam sekarang ini. Kita tidak tahu sampai pada tahap yang bagaimana sejarah kita sekarang sehingga kita mampu melangkah lebih baik dari tahapan-tahapan sejarah sebelum kita. Cara baca terhadap turâts Islam semacam ini, menurut Al-Jabiri, tak lain hanya mencerminkan sikap pembelaan terhadap eksistensi diri yang berlebihan ketimbang memajukannya.
Hegemoni al-salaf al-shâlih, beserta cara pandangnya dalam merespon permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi, sangat bertanggungjawab atas kegagalan pemikiran kontemporer. Piranti pola berpikir Liberalisme dan Salafisme dalam Islam merupakan imbas dari hegemoni paradigma berpikir masa salaf  tersebut7; yaitu sebuah paradigma berpikir yang menjadikan pihak luar sebagai acuan dalam menyelesaikan semua problematika, yang semuanya terangkum dalam sebuah kaidah qiyâs al-ghâ`ib ‘alâ al-syâhid (mencari sesuatu yang tidak diketahui melalui apa yang telah diketahui).
Dari uraian di atas, Al-Jabiri beranggapan bahwa kebangkitan Islam tidak akan mengalami keberhasilan apabila perangkat berpikir umat Islam, ketika mengusung isu kebangkitan, tidak berbeda dengan perangkat berpikir yang ada pada masa kemunduran. Dengan demikian, demi mensukseskan semangat kebangkitan dan kebebasan, upaya mengikis habis paradigma nalar salaf yang kita terima dari masa keterbelakangan adalah sebuah upaya yang tidak bisa kita abaikan. Upaya tersebut hanya bisa dilakukan melalui kritik secara terus menerus terhadap turâts Arab-Islam.8 Hanya inilah satu-satunya cara yang mampu membebaskan nalar Islam dari hegemoni pola pikir qiyâs al-ghâ`ib ‘alâ al-syâhid. Ini pula yang sekaligus akan membebaskan pola pikir nalar Arab dari ketergantungan terhadap apa yang ada di luarnya, baik itu berupa paradigma salaf maupun Barat.

Pemilahan Turâts  Islam Serta Menjalin Kembali Hubungan Dengannya
Penolakan Al-Jabiri terhadap model berpikir salaf, baik Salafisme maupun Liberalisme, tidak berarti bahwa dia menolak keharusan mengacu kepada turâts secara total. Hanya saja, mengacu kepada turâts, menurutnya, tidaklah berarti menghadirkan kembali turâts dengan apa adanya, tapi menjadikan turâts  mampu bergumul dengan problematika kontemporer, yang akhirnya mampu menanamkan semangat kritisisme dan rasionalitas dalam diri kita ketika menghadapi problematika modern.
Urgensi turâts atau tradisi bagi sebuah kembangkitan, menurut Al-Jabiri, disebabkan karena tidak ada satu umat pun di muka bumi ini berhasil mencapai kebangkitan tanpa menjalin kembali hubungan dengan tradisinya9. Contohnya adalah Eropa, juga Islam sendiri ketika masa Rasulullah. Eropa, ketika memulai membangun peradaban baru paska keruntuhan hegemoni gereja, mulai mewujudkan impiannya dengan melakukan pemilahan terhadap tridisi dan menjalin kembali hubungan dengannya. Yaitu dengan cara menghidupkan kembali tradisi Yunani dan Persia, dalam rangka melakukan upaya penyegaran dan pemurnian terhadap ajaran agama, dan sekaligus melakukan revolusi terhadap ajaran etika gerejawan yang menuntut umatnya untuk patuh secara buta.10 Eropa melakukan pemilahan antara tradisi filsafat idealisme (Plato) dan filsafat materialisme dalam menata kehidupan barunya. Begitu juga yang terjadi dalam kebangkitan Islam pada masa Rasulullah. Muhammad SAW, ketika berupaya membangun kekuatan peradaban baru yang agamis, memulai upaya revolusinya terhadap paradigma masyarakat jahiliyah melalui seruan kembali kepada turâts, yaitu kembali kepada agama Ibrahim yang telah terkaburkan.
Dalam dua contoh di atas, kembali kepada turâts tidak diartikan sebagai menghadirkan kembali agama Ibrahim, turâts Yunani atau Persia sebagaimana saat turâts itu muncul, melainkan dipahamai sebagai upaya memahami turâts secara rasional untuk dilampaui dan diteruskan demi terciptanya tradisi baru yang lebih mapan,11 yang layak untuk diajak bergumul dengan problematika-problematika kekinian.
Peran penting sebuah tradisi atau turâts dalam membangun modernitas, menurut Al-Jabiri, disebabkan oleh makna turâts yang begitu luas, mencakup segala aspek yang hadir di tengah-tengah kita, baik itu berasal dari masa lalu kita atau masa lalu selain kita. Dia bukan hanya sisa budaya masa lalu, tapi lebih dari itu, dia adalah kesempurnaan dari masa lalu itu sendiri. Dia adalah akidah, syari’ah, bahasa, adab, nalar, perasaan, dll. Atau dengan kata lain, turâts adalah keilmuan dan ideologi yang asas dari keduanya adalah nalar dan kandungan isinya berupa perasaan.
Turâts  dengan kandungan makna semacam itu, secara otomatis mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap pola pikir umat Islam, terutama sekali kaidah qiyâs al-ghâ`ib ‘alâ al-syâhid. Bahkan, dengan tidak berlebihan, Al-Jabiri berani menyatakan bahwa hegemoni nilai-nilai negatif yang ada pada turâts telah menyebabkan kegagalan pemikiran-pemikiran kontemporer yang sedang berkembang dan sekaligus menghalangi laju keberhasilan kebangkitan Islam.
Dengan demikian, upaya pembaharuan turâts, menurut Al-Jabiri, harus dilakukan dengan cara mengkaji dan meneliti kembali turâts dengan semangat rasionalitas dan kritisisme. Dengan semangat ini umat Islam diharapkan mampu memilah-milah antara turâts Islam yang layak diperjuangkan dan yang tidak. Ini dimaksudkan untuk menjauhkan nilai-nilai negatif yang terdapat dalam turâts Islam yang merupakan faktor penyebab kemunduran dunia Islam. Rasionalitas dan kritisisme merupakan syarat pokok kebangkitan yang harus diterapkan terlebih dahulu terhadap turâts Islam sebelum merambah pada yang lainnya. Keduanya mempunyai peran yang sangat signifikan dalam menghilangkan nilai-nilai irasional yang ada dalam turâts yang mengakibatkan terseretnya umat Islam pada cara pandang mistis dan anti kausalitas terhadap alam semesta.
Pentingnya sikap rasional dan kritis ketika bergumul dengan turâts bisa kita pahami dari karya monumental Al-Jabiri yang sengaja dia namai dengan Kritik Nalar Arab, yang berisi kritik terhadap turâts dan nalar Arab-Islam demi menggali dan mewujudkan rasionalitas dan kritisisme dalam diri sendiri.

Dari Pembaharuan Turâts  Menuju Kritik Nalar
            Upaya modernisasi turâts dengan cara menghidupkan kembali rasionalitas dan kritisisme yang ada di dalamnya, menurut Al-Jabiri, tidak akan sampai pada sebuah kesempurnaan tanpa melalui kritik terhadap perangkat berpikir yang membangun turâts  tersebut; dalam hal ini adalah nalar Arab. Nalar, dalam pandangan Al-Jabiri, adalah sejumlah kumpulan pemahaman dan sekaligus emosional yang akan selalu menuntun kita pada pemahaman tertentu di saat berinteraksi dengan alam.12 Nalar tersebut terbentuk dari budaya tertentu, yaitu budaya Arab, yang di dalamnya terdapat mekanisme berpikir yang menjadikan bangsa Arab mundur. Dengan demikian, terjadi adanya perbedaan yang sangat signifikan antara nalar Arab dengan nalar lainnya.
Karakteristik sebuah nalar dalam setiap peradaban, menurut Al-Jabiri, ditentukan oleh pengaruh cara pandang nalar terhadap obyek kajiannya. Ketika cara pandang tersebut dalam peradaban Yunani (Eropa) dan Arab berbeda, maka pola pikir yang dihasilkan oleh keduanya pun berbeda. Dalam peradaban Yunani hubungan antara nalar dengan alam adalah hubungan langsung, tidak dibatasi oleh faktor luar. Ini didasarkan pada keyakinan mereka akan kemampuan akal dalam menafsirkan dan menemukan rahasia yang ada di balik alam. Sedang yang terjadi dalam peradaban Arab adalah lain. Nalar yang ada di Arab mempunyai karakteristik tersendiri dibandingkan dengan nalar lainnya. Karakteristik tersebut adalah akibat dari cara pandang bangsa Arab yang ketika mengkaji alam bertujuan untuk sampai pada Dzat Yang Maha Kuasa, atau dengan kata lain hanya untuk menjustifikasi adanya Sang Pencipta; berbeda dengan nalar Yunani yang menjadikan Allah hanya sebagai justifikasi dari apa telah mereka simpulkan. Keyakinan adanya Dzat Pencipta dalam nalar Yunani adalah hasil dari sebuah perenungan terhadap alam; berbeda dengan nalar Arab yang merenungkan alam demi mencapai Dzat Pencipta.13
Dari perbandingan di atas, Al-Jabiri mengambil sebuah kesimpulan bahwa nalar yang ada di Eropa mempunyai karekteristik kausalitas, yaitu selalu haus terhadap penggalian-penggalian terhadap sebab-akibat yang ada di balik alam, sedang nalar Arab adalah nalar berkarakter normatif, yang ketika melakukan interaksi dengan dunia luar hanya diposisikan atau dipetakan secara normatif.14
Upaya melakukan kritik terhadap nalar Arab, menurut Al-Jabiri, harus dimulai dari masa kodifikasi, sebab masa tersebut adalah masa di saat peradaban Arab mulai membangun dan menulis budayanya sendiri. Di samping itu, apa yang telah dihasilkan pada masa itu merupakan rujukan intelektual seluruh umat Islam. Pada masa itu nalar Arab telah sempurna bangunannya, tersusun dari mekanisme qiyas fikih, qiyâs al-ghâ`ib ‘alâ al-syâhid, dan lain sebagainya.

 
Dengan demikian, usaha untuk membangun masa kodifikasi baru harus dimulai dari penelitian terhadap pemahaman-pemahaman serta cara pandang yang telah kita terima dari masa kodifikasi lama tersebut. Dengan cara demikian sumber-sumber kelemahan pemikiran yang ada pada masa kodifikasi tersebut bisa diungkap dan dibenahi, sehingga krisis multi dimensi yang ada pada masa sekarang bisa dicarikan solusinya.
Langkah Al-Jabiri membatasi kritiknya hanya pada nalar dan turâts Islam pada masa kodifikasi saja selain disebabkan oleh alasan-alasan di atas juga disebabkan oleh faktor metodologis. Metode strukturalisme yang digunakan Al-Jabiri memaksanya untuk memejamkan mata terhadap semua perubahan yang ada. Metode tersebut hanya bisa diterapkan pada sebuah bangunan yang tetap dan tidak berubah. Perubahan yang terjadi dianggap sebagai penampakan luar belaka, dan oleh karena itu diabaikan. Di samping itu, metode strukturalisme tidak mungkin diterapkan tanpa adanya bahasa tertulis yang bisa dianalisa. Strukturalisme sebelum berkembang menjadi metode dalam kajian humaniora, menurut sejarah perkembangannya, hanyalah metode untuk mengkaji permasalahan-permasalahan linguistik.15

Metode Kritik Turâts
Al-Jabiri menyatakan ketidaksetujuannya untuk menggunakan berbagai bentuk metode yang akan mengakibatkan hilangnya orsinilitas turâts Islam, juga metode yang akan memisahkan turâts Islam dari keutuhannya. Metode yang dimaksud adalah metode marxisme (materialisme historis) dan metode para orientalis. Ketidaksesuaian metode marxisme dalam turâts Islam disebabkan karena metode ini mengandaikan adanya sebuah dialektika. Tanpa adanya dialektika metode ini tidak mungkin untuk diterapkan. Ini berarti bahwa metode marxisme sebenarnya bukanlah sebuah metode yang bisa diterapkan, melainkan sebuah metode yang terterapkan.
Sementara metode para orientalis dengan berbagai jenisnya, menurut Al-Jabiri, akan menghilangkan orisinilitas turâts Islam. Mereka menganalisa turâts Islam melalui kacamata Barat. Barat, yang dalam hal ini adalah khazanah paradaban Yunani dan Persia, menurut para orientalis adalah sumber semua peradaban yang saat ini ada di muka bumi. Dengan cara pandang semacam ini, para orientalis menganggap peradaban Islam hanyalah penjelamaan atau kepanjangan tangan dari reruntuhan peradaban Yunani dan Persia.
Penolakan Al-Jabiri terhadap metode marxisme dan orientalis disebabkan oleh keyakinannya bahwa metode yang layak dipakai dalam mengakaji turâts Islam adalah sebuah metode yang memiliki cara pandang kompherensif terhadap turâts Islam tanpa menghilangkan orisinalitasnya. Yaitu metode yang mampu mengkaitkan antara satu bagian dengan bagian yang lainnya dalam turâts Islam dan berupaya menghubungkan antara alam pemikiran dengan realita yang membentuknya.
Metode yang diinginkan oleh Al-Jabiri adalah metode yang mampu menjaga eksistensi peradaban kita dan mampu menjadikan diri kita sebagai bagian dari peradaban modern yang telah menjelma menjadi peradaban dunia. Metode yang dimaksud adalah metode-metode modern yang bersifat universal, dimiliki oleh siapa saja tanpa mengenal ras tertentu. Metode-metode tersebut, menurut Al-Jabiri, akan mampu menciptakan independensi sejarah dalam diri umat Islam. Ketidakmampuan umat Islam untuk mengetahui sampai pada tahapan yang bagaimana sejarahnya sekarang, serta terciptanya hegemoni nalar salaf, disebabkan karena tidak terciptanya independensi sejarah tersebut. Selain itu, metode-metode tersebut akan mampu memberikan obyektifitas dalam mengkaji turâts, sekaligus mampu menjadikan turâts sebagai sesuatu yang berkesinambungan sepanjang masa dan tidak stagnan atau mati.
Obyektifitas dalam mengkaji turâts Islam akan terwujud melalui tiga pendekatan.16 Pendekatan pertama adalah pendekatan struktrulalisme. Yaitu berpijak pada teks dengan memandang teks tersebut sebagai kesatuan yang tetap dan tidak berubah. Perubahan yang ada dianggap tidak akan mempengaruhi ketetapan sifat yang ada di balik teks. Teks dianggap sebagai sebuah bagunan yang utuh dan tidak terpisah. Cara pandang semacam itu, menurut Al-Jabiri, menuntut adanya penguasaan terhadap mainstream dan perubahan pemikiran pemilik teks. Pada akhirnya ini akan menuntut kita untuk mampu memetakan pemikiran-pemikiran yang muncul dari pemilik teks secara menyeluruh, yaitu dengan menghubungkan pemikiran yang satu dengan yang lainnya. Dengan cara ini kita akan mampu menghindari pembacaan makna sebelum pembacaan teks.17
Pendekatan kedua adalah analisa sejarah. Yaitu dengan menghubungkan pemikiran pemilik teks, yang disistematiskan melalui pendekatan strukturalisme, dengan sejarah yang melingkupinya, baik budaya, politik, maupun sosial. Hubungan antara pemikiran pemilik teks dengan kondisi sejarah yang meliputinya, menurut Al-Jabiri, adalah hubungan yang tidak bisa dipisahkan. Dengan mengkaitkan keduanya kita akan mampu memahami sejarah pemikiran serta genealogi yang ada di dalamnya, mencari informasi tentang keabsahan hipotesa bentuk struktural sebuah pemikiran, serta menyingkap apa-apa yang tidak bisa diungkapkan oleh sebuah teks.18
Pendekatan ketiga adalah analisa kandungan ideologi turâts. Yaitu dengan mengungkap peran ideologi sosial-politik dalam memunculkan sebuah pemikiran. Cara ini, menurut Al-Jabiri, sangat berhubungan erat dengan metode analisa sejarah. Bahkan, Al-Jabiri mengaggap bahwa menemukan muatan ideologi yang ada dalam teks turâts merupakan satu-satunya cara untuk menjadikan turâts tersebut sezaman dengan dirinya sendiri (muâshiran linafshihi)19. Selain itu, usaha ini juga sangat berguna untuk membangun kembali penulisan sejarah.

Penerapan Metode Al-Jabiri
Penerapan Al-Jabiri terhadap motode-metode di atas, dalam membongkar kembali turâts Islam, dapat kita rasakan dari pembagiannya terhadap turâts Islam menjadi tiga bagian: bayân, ‘irfân, dan burhân. Pengelompokan tersebut ditujukan untuk mensistematiskan turâts dalam rangka menggali dan menemukan faktor-faktor kemunduran, sekaligus nilai-nilai dalam turâts yang bisa membawa kemajuan dalam Islam.


1.      Bayân
Bayân sebagai sebuah sistem epistemik mengandung berbagai macam disiplin ilmu, seperti ilmu-ilmu bahasa (nahwu, sharf, dll.) dan ilmu-ilmu agama Islam lainnya (fikih, ushul fikih, tafsir, ushuluddin, dll.). Yang disebut dengan ulama bayân oleh Al-Jabiri adalah sejumlah pemikir Islam yang dalam memproduksi pengetahuan menggunakan perangkat ilmu-ilmu di atas (al-‘ulûm al-islâmiyah al-istidlâliyah). 20
Dengan menerapkan metode strukturalisme, Al-Jabiri berusaha menemukan hubungan dan keterkaitan antara ilmu bahasa dengan ilmu Arab-Islam lainnya, atau dengan kata lain, peran bahasa dalam membangun budaya Arab-Islam. Metode struktruralisme memandang ilmu-ilmu bayân secara utuh dan tidak terpisah, dengan tujuan menyingkap hubungan antara satu bagian dengan bagian yang lain. Penerapan metode  tersebut berakhir pada sebuah kesimpulan bahwa keilmuan Arab-Islam adalah satu. Artinya, perbedaan keilmuan Arab-Islam, juga berbedaan tujuan dan muatan yang ada di dalamnya, jika ditinjau dari segi epistemologis yang membentuknya adalah sama. Semuanya mempunyai peran yang sama dalam memperkaya kandungan nilai teks dengan cara mengambil manfaat darinya. Hanya saja, peran ushul fikih dalam medan epsitemik bayân, menurut Al-Jabiri sangatlah dominan. Hegemoni ilmu fikih dalam kancah medan bayân telah menyebabkan adanya kesatuan sistem epistemik dalam bangunan keilmuan Islam, seperti dalam disiplin ilmu kalam dan lainnya. 21
Jika peran bahasa dalam membangun peradaban Arab sangatlah dominan, terutama dalam ruang lingkup epistemik bayân, maka kejumudan dan stagnasi ilmu nahwu dalam merespon perubahan-perubahan kata dan struktur kalimat, menurut Al-Jabiri, sangat mempengaruhi pola pikir nalar Arab kontemporer. Bahasa, menurut analisa ilmiah para pakar linguistik kontemporer, mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pola pikir manusia saat melakukan interaksi dengan alam. Dengan demikian, upaya perbaharuan nalar dalam peradaban Arab-Islam, menurut Al-Jabiri, juga harus dimulai dari perbaharuan terhadap bahasa itu sendiri dalam menerjemahkan pemikiran-pemikiran baru.
Ketika bahasa mempunyai peran yang sangat dominan dalam ruang lingkup epistemik bayân, maka problematika yang paling asasi dalam sistem epestemik tersebut adalah problematika hubungan antara kata (lafzh) dan arti (ma‘nâ). Oleh karena itulah, perhatian ulama bayân pada waktu itu terpusat pada bagaimana memahami dan menafsirkan wacana keagamaan. Sedang problematika berpikir serta hubungannya dengan bahasa dan teks, kurang bahkan tidak mereka perhatikan. Akibatnya adalah hilangnya peran akal dalam menggali pengetahuan. Peran akal  dalam menggali pengetahuan sangatlah sempit dan terbatas. Akal harus tunduk pada pemahaman-pemahaman yang telah diberikan oleh bahasa. Hegemoni bahasa dan teks ini merambah pula pada disiplin ilmu kalam, yang juga merupakan bagian dari bayân.22 Sehingga, ilmu kalam yang terkungkung dalam problematika hubungan antara lafzh dan ma‘nâ, dan tunduk pada aturan-aturan yang ada di dalamnya, menjadi kehilangan rasionalitasnya.
Setelah menyingkap sistem epistemik bayân, yang dilakukan oleh Al-Jabiri selanjutnya adalah berusaha menemukan hubungan dan pengaruh ideologi di dalamnya. Dia menyatakan bahwa perang ideologi yang terjadi pada masa ekspansi Islam —terutama adanya ideologi manawiyah yang meyakini adanya dualisme Tuhan dan pada waktu itu merupakan salah satu sekte yang sangat berbahaya dalam perjalanan penyiaran Islam— telah memaksa ulama bayân untuk membuat argumentasi adanya keterpisahan hubungan antara Allah dengan alam. Hanya dengan cara itu ulama bayân mampu membentengi akidah Islam, sekaligus membungkam argumentasi musuh. Di samping permasalahan ideologi, Al-Jabiri juga meyakini peran penting politik dalam mepengaruhi kemunculan sebuah pemikiran. Contohnya adalah pengaruh politik dalam memunculkan akidah jabariyah dan qadariyah dalam pemikiran bayân.
Al-Jabiri kemudian melakukan koreksi terhadap mekanisme nalar yang digunakan oleh ulama bayân dalam menghasilkan pengetahuan. Dia beranggapan bahwa mekanisme epistemik bayân ketika mengambil manfaat dari teks adalah mekanisme qiyas. Mekanisme qiyas, menurut Al-Jabiri, sangat mempengaruhi terbentuknya peradaban Arab-Islam. Tidak ada satu disiplin ilmu pun dalam peradaban Arab-Islam yang tidak mengunakan qiyas dalam menggali pengetahuan baru. Metodologi yang diletakkan oleh Syafi’i dalam berijtihad ini telah merambah pula permasalahan akidah dan ilmu kalam. Metode tersebut telah mempengaruhi gaya ijtihad Abu Hasan Al-Asy’ari dalam permasalahan kalam, meskipun dia tidak menggunakan istilah qiyas dan mengantinya dengan istilah istidlâl. Ini disebabkan karena ashl dalam ilmu kalam (manusia) lebih rendah derajatnya dari pada far‘ (Allah), berbeda dengan ashl (nash) dalam fikih yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada far‘. 23
Perhatian Al-Jabiri terhadap mekanisme qiyas didasarkan pada anggapan bahwa qiyas adalah mekanisme penggalian pengetahuan yang paling bertanggungjawab atas kejumudan, kemunduran dan kebekuan dalam nalar Arab-Islam. Mekanisme tersebut telah melahirkan persepsi yang menyatakan bahwa kebenaran suatu pengetahuan baru harus mengacu pada pengetahuan yang telah ada. Ini berarti bahwa tidak ada inovasi dalam sistem pengetahuan tersebut. Seorang pemikir ketika berpegang pada mekanisme tersebut bukanlah seoarang yang berinovasi, melainkan seorang yang sedang melakukan pengulangan dari apa yang telah ada.
Selain itu, karakteristik kebenaran dalam qiyas bayân berbeda dengan karakteristik kebenaran dalam qiyas logika. Kebenaran yang ditemukan dalam qiyas bayân bersifat tidak paten dan hanya bersifat sangkaan, berbeda dengan qiyas logika yang kebenaran konklusinya bersifat paten dan pasti. ‘Illah yang dijadikan pijakan dalam qiyas bayân bersifat samar dan tidak nyata karena hanya didasarkan pada prasangka seorang mujtahid, berbeda dengan qiyas logika yang mempunyai ‘illah yang jelas dan nyata.
Al-Jabiri kemudian mengkritik cara pandang ulama bayân yang mengingkari kausalitas. Dia mengatakan bahwa akibat dari legitimasi kemakhlukan alam, para ulama bayân, baik Muktazilah maupun Asy’ariah, terjebak dalam teori jauhar fard atau teori atom. Akibatnya, mereka beranggapan bahwa gerak yang ada dalam alam semesta bukanlah hasil dari sebuah pertalian atau koneksi, melainkan hasil dari keterpisahan atau separasi. Dengan kata lain, tidak ada pertalian antara atom yang satu dengan atom yang lain. Antara atom yang satu dengan yang lainya tidak saling mempengaruhi dan mengikat, karena keterpengaruhan hanya bisa terjadi ketika ada pertalian antara kedua belah pihak. Dengan begitu, teori tersebut membuktikan adanya turut campur Tuhan secara terus-menerus dalam setiap fenomena yang ada di alam semesta. Dan jika Tuhan selalu mencapuri semua aturan yang ada di alam, maka semua kejadian yang berlangsung di alam semesta tidak bersifat paten dan mungkin berubah setiap saat. Tidak ada kepastian hubungan antara sebab dan akibat. Semuanya berasal dari Tuhan.
Argumentasi teori atom sebenarnya bisa dibenarkan ketika dijadikan untuk menjustifikasi kebenaran mukjizat. Tetapi, menurut Al-Jabiri, argumentasi teori tersebut mengurangi potensi akal dalam menggali rahasia-rahasia yang ada di alam semesta. Ketika ketetapan hubungan antara sebab dan akibat telah dipertanyakan, maka secara otomatis akal menjadi kurang agresif dalam merespon kejadian-kejadian yang ada di sekitarnya. Akal cenderung pasrah dan menerima bahwa yang mengendalikan semua fenomena yang ada di alam adalah Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kritik Al-Jabiri dalam permasalahan kausalilitas tidak hanya sebatas pada sekte Asy’ariyah belaka, melainkan lebih dari itu, dia menganggap semua sekte yang ada dalam disiplin ilmu kalam adalah sama. Ini berarti bahwa Muktazilah yang tergolong sekte paling rasional dalam Islam termasuk dalam katagori sekte yang mengingkari ketetapan kausalitas. Dengan demikian, perbedaan antara Muktazilah dan Asy’ariyah, menurut Al-Jabiri, hanya perbedaan pembahasaan saja. Tuduhan Al-Jabiri terhadap sekte Muktazilah memang kelihatan sangat dipaksakan. Tuduhan tersebut menunjukkan usaha Al-Jabiri untuk merobohkan fondasi teori kebebasan manusia yang ada dalam Muktazilah. Sebab, dengan cara itu dia telah berupaya melakukan pembenaran terhadap metode yang dia pakai, yaitu anggapannya tentang adanya kesatuan pijakan dalam setiap sistem epistemik tertentu.24 Kendati dia berhasil menjustifikasi pendapatnya dengan menampilkan pendapat-pendapat dari Qadhi ‘Abdul Jabar dan tokoh-tokoh Muktazilah lainnya yang menunjukkan adanya pengingkaran kausalitas dalam Muktazilah, tapi pengaruh metodologi yang dia gunakan sangat kentara sekali dan tidak bisa dipungkiri.
Dari paparan di atas, Al-Jabiri ingin menyadarkan umat Islam bahwa pijakan dan mekanisme berpikir yang ada dalam sistem epistemik bayân masih tetap mengendap hingga masa sekarang. Asas separasi dan pengabaian kausalitas yang kita terima semenjak masa kodifikasi Islam telah menjadi penyebab kemunduran dunia Islam. Pola pikir separasi dan anti kausalitas, menurut Al-Jabiri, bersumber dari karakteristik gurun yang ada di Arab. Fenomena alam gurun dengan kabilah-kabilah yang satu dengan lainnya saling terpisah adalah faktor yang membentuk model pikir separasi dalam masa kodifikasi. Begitupula rutinitas kejadian-kejadian alam gurun yang serba berubah-ubah dan tidak tetap merupakan faktor terbentuknya pola pikir anti kausalitas dalam masa kodifikasi tersebut.25

2. ‘Irfân
Terma ‘irfân adalah sebuah terma yang dimunculkan oleh para ulama sufi Islam dalam membahasakan model pengetahuan yang mereka anggap paling tinggi, yang hadir di hati dalam wujud inspirasi dan mukâsyafah.26 ‘Irfân mempunyai pola struktur pemikiran yang sama, yaitu menganggap bahwa sebuah hakikat hanya bisa ditemukan melalui ritual kebatinan atau kearifan. Aliran ini tersebar dalam peradaban Islam melalui pemikiran-pemikiran Syi’ah, tasawuf, filsafat emanasi dan filsafat iluminasi.
Al-Jabiri mengaitkan sistem epistemik ‘irfân dengan masa Hellenisme, terutama masa Harmes, karena adanya kesamaan yang sangat kuat antara aliran gnostik dengan aliran tasawuf. Kesamaan tersebut dapat dilihat dari keyakinan ulama ‘irfân yang menyatakan bahwa mengetahui Sang Pencipta adalah hal yang mungkin terjadi di alam nyata; bahwa ada persamaan antara jiwa manusia dengan Tuhan dan penyatuan antara keduanya adalah mungkin; dan bahwa pengetahuan harus digali melalui penyucian diri dari segala kotoran duniawi. Keyakinan-keyakinan tersebut dapat dicari akarnya dalam aliran gnostik yang ada sebelum Islam.
Bahkan, Al-Jabiri menyatakan bahwa khazanah keilmuan Harmesian adalah ilmu asing yang pertama kali hadir dalam peradaban Arab-Islam. Syi’ah adalah sekte Islam yang pertama kali menggunakan pemikiran Harmesian untuk tujuan politik. Langkah ini kemudian diikuti oleh para sufi Islam yang terpengaruh pemikiran Harmesian akibat interaksi dan keterlibatannya dengan Syi’ah pada masa-masa kemunculannya. Perbedaan antara Syiah dan para sufi hanya terletak pada penggunaan nilai-nilai Harmesian. Syi’ah menggunakan nilai-nilai tersebut untuk tujuan politik, sedang para Sufi menggunakannya untuk mengokohkan semangat zuhud, penyucian jiwa, dan keikhlasan. Para sufi ketika menggunakan pemikiran Harmesian tidak bertujuan untuk melawan penguasa, bahkan sebaliknya, untuk menjauhkan diri dari kekuasaan itu sendiri. Inilah yang menjadi penyebab diterimanya tasawuf dalam peradaban Islam. Dan ini berarti diterimanya pemikiran-pemikiran Harmesian dalam bentuknya sebagai tasawuf yang lunak sebagai ganti pemikiran-pemikiran Harmesian Syi’ah yang radikal.
Karekteristik sistem epistemik ‘irfân adalah dualisme antara zhahir dengan batin. Zhahir (nash al-Qur’an) mengandung batin, yang dalam hal ini adalah pemikiran-pemikiran Harmesian. Akibatnya, takwil dalam sistem empistemik ‘irfân menempati posisi terdepan dalam menggali pengetahuan. Takwil yang ada dalam ‘irfân, berbeda dengan takwil model bayân. Dalam bayân, takwil mempunyai batas-batas tertentu dan hanya sedikit sekali digunakan, berbeda dengan takwil dalam ‘irfân yang tidak mempunyai batas. Takwil dalam ‘irfân telah melanggar batas-batas yang telah ditetapkan oleh ulama bayân. Penggunaan takwil yang tidak terikat oleh batasan-batasan tertentu dalam kaidah bahasa ini disebabkan oleh keyakinan ulama ‘irfân bahwa hakikat sebuah kebenaran hanya bisa ditemukan melalui hati.
Sementara itu, perbedaan antara takwil tasawuf dan takwil Syi’ah adalah terletak pada tujuan penggunaannya. Syi’ah menggunakan takwil untuk tujuan politik, sedang para sufi menggunakan takwil untuk menunjukkan bahwa dirinyalah yang mampu menemukan hakikat kebenaran. Sedangkan perbedaan antara sufi Sunni dan sufi filsafat yang radikal hanya terletak pada keterbukaan dan pembahasaan belaka. Sufi radikal cenderung menyatakan secara terbuka bahwa hanya merekalah yang mampu menemukan hakikat, sedang sufi Sunni cenderung tidak terbuka dan basa-basi dalam menyatakan hal tersebut.27
Tujuan penggunaan takwil dalam ‘irfân, di samping untuk membebaskan diri dari belenggu qarînah yang telah diletakkan oleh ulama bayân, juga disebabkan oleh faktor metode ‘irfân sendiri dalam memahami al-Qur’an, baik secara terbuka atau isyarat. Metode yang dimaksud adalah metode analogi, yaitu sebuah cara untuk menyamakan makna yang terkandung dalam al-Qur’an dengan gagasan-gagasan yang telah ada sebelumnya. Metode ini bisa disebut juga dengan i’tibâr ‘irfâny atau qiyâs ‘irfâny; salah satu bentuk qiyas yang diartikan sebagai keserupaan di dalam sebuah hubungan, dan bukan keserupaan hubungan. Dengan demikian, terjadi perbedaan cara pandang dalam memahami al-Qur’an antara ‘irfân dan bayân. Dalam ‘irfân penafsiran bermula dari ma‘nâ menuju lafzh, sedang yang terjadi dalam bayân adalah sebaliknya: dari lafzh menuju ma‘nâ.
Dualisme yang terjadi di antara keduanya juga beda. Dalam bayân, yang ada adalah dualisme ashl dan far‘, sedang dalam ‘irfân dualisme yang ada adalah antara zhahir dan batin serta dualisme wali dan nabi. Wali dalam Syi’ah mempunyai hubungan yang sangat erat dengan seorang imam. Ini berarti bahwa seorang wali harus dari ahli bait dan terbatas pada ras tertentu. Sedang wali yang ada dalam dunia tasawuf tidak dibatasi oleh ras tertentu, bebas dari ras mana saja. Tugas seorang wali dalam Syi’ah adalah menjadi pemimpin politik, sedang dalam tasawuf hanya menjadi pemimpin ritual kerohanian dan kebatinan belaka. Perbedaan dualisme dan keterbebasan tasawuf dari unsur-unsur politik ini telah menjadikannya diterima dan berkembang dengan subur dalam tradisi Islam Sunni dan menjadi salah satu penyebab kemunduran dunia Islam.
Dari paparan di atas, dapat kita lihat bahwa Al-Jabiri telah menunjukkan adanya persamaan sumber antara Syi’ah dan tasawuf. Keduanya bersumber dari pemikiran-pemikiran Harmesian. Dengan demikian, anggapan bahwa takwil ‘irfân adalah ilham yang berasal dari Allah tak lain adalah upaya pengaburan sumber tersebut. Takwil ‘irfân tidak lebih merupakan upaya memasukkan pemikiran-pemikiran Harmesian dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an, bukan ilham dan bukan juga mukâsyafah. Yang membedakan antara Harmesian dan ‘irfân Islami hanyalah penamaan belaka.
Hubungan antara ‘irfân dalam Islam dengan ‘irfân yang ada sebelum Islam tidak hanya terlihat pada tataran teori dan pemikiran saja, tapi lebih dari itu, terlihat juga dalam tataran pembahasaan atau terminologi. Terma-terma yang dipakai oleh ‘irfân dalam dunia Islam bukanlah merupakan terma-terma yang berasal dari Islam atau Arab. Sangat mustahil jika terma-terma tersebut— atau pemikiran-pemikiran yang ada dalam ‘irfân Islam— muncul dari hasil perenungan terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa nilai-nilai peradaban lama telah mengakar dalam diri ‘irfân Islam. Bahkan lebih dari itu, menurut Al-Jabiri, apa yang mereka namakan dengan al-kasyf al-‘irfâny bukanlah sesuatu yang terjadi di luar kebiasaan, melainkan hanya merupakan kerendahan derajat potensi akal belaka.
Kesimpulan yang telah diambil oleh Al-Jabiri dengan tidak mengakui orisinilitas ‘irfân dalam Islam menunjukkan bahwa dia telah keluar dari orientasi pemikirannya semula yang menginginkan tidak adanya sentralisasi Eropa dalam memahami turâts Islam.28 Kendati membuat sebuah apologi bahwa kebudayaan lama tersebut telah mengakar dan menjadi bagian dari peradaban Arab sendiri, namun pengaruh orientalisme yang ingin membuktikan sentralisasi bangsa Eropa sangat kentara sekali dari kesimpulan yang diambil oleh Al-Jabiri dalam menganalisa ‘irfân dalam dunia Islam.

3. Burhân
Burhân adalah sebuah sistem epistemik yang mempunyai metode dan cara pandang tersendiri terhadap alam, dengan tidak bersandar pada metode lain selain argumentasi ilmiah. Perbedaan antara nalar burhân dengan sistem epistemik lainnya terletak pada keyakinan para pemikir burhân bahwa akal manusia mampu menemukan kebenaran tanpa bersandar pada faktor lain yang ada di luarnya. Akal, melalui rasionalitas dan pengalaman empirik, dengan sendirinya mampu menemukan hakikat kebenaran tanpa pertolongan wahyu maupun ilham.
Nalar burhân dalam peradaban Arab-Islam pertama kali diperkenalkan untuk menghancurkan pemikiran-pemikiran ‘irfân. Kehadirannya difungsikan untuk membela agama serta ideologi negara pada masa Abasiyah. Dengan tujuan untuk membungkam ideologi Syi’ah, Al-Ma’mun melakukan penerjemahan secara besar-besaran pemikiran Yunani yang rasional, yang dalam hal ini merupakan musuh dari pemikiran irasional Harmesian atau Phetagorian. Dengan demikian, burhân yang dimaksud oleh Al-Jabiri adalah filsafat Aristoteles yang dihadirkan di tengah-tengah peradaban Arab untuk menjawab kebutuhan yang ada pada masa itu, seperti melawan pemikiran-pemikiran ‘irfân Syi’ah dan sekaligus digunakan untuk memadukan antara akal dan wahyu.
Burhân yang kehadirannya hanya untuk menjawab sebuah kebutuhan pada akhirnya mengalami reduksi dan pengaburan. Pemaduan antara rasionalitas filsafat dan sistem epistemik yang ada telah menjadikan filsafat kehilangan rasionalitas dan eksistensinya sendiri. Penggunaan nalar burhân hanya ditujukan untuk membentengi sistem epistemik yang telah ada, seperti para ahli kalam yang membangun bayân di atas burhân dan Ibnu Sina yang membangun ‘irfân di atas burhân. Usaha pemaduan antara dua sistem epistemik yang berbeda ini pada awalnya ditujukan untuk menyerasikan antara akal dan wahyu, juga antara agama dan filsafat.29 Usaha yang pada awalnya ditujukan untuk menyatukan cara pandang bangsa Arab terhadap alam dan manusia ini dalam kenyataanya malah menjadikan tertanamnya cara pandang yang saling berbenturan dalam satu kawasan peradaban Arab-Islam. Pada akhirnya rasionalitas burhân menjadi hilang dan digantikan dengan trend irasionalitas tasawuf.
Hanya saja, problematika pemaduan antara agama dan filsafat di atas hanya dialami oleh dunia Islam bagian timur. Sementara dunia Islam bagian barat tidak mengenal problematika ini. Filsafat terbentuk di Andalusai melalui sains, sehingga problematika pembelaan terhadap agama baru serta upaya pemaduannya dengan pemikiran filsafat tidak dialami oleh para filsuf Andalusia. Filsafat yang ada di Andalusia adalah filsafat Aristoteles murni tanpa adanya reduksi yang ditimbulkan oleh upaya pemaduan antara filsafat dengan agama. Perbedaan problematika antara filsafat di timur dengan filsafat di barat Islam ini, menurut Al-Jabiri, menunjukkan adanya keterputusan epistemologi antara barat dan timur Islam. Filsafat timur berepistemologikan teologi, sedang filsafat barat berepistemologikan sains atau keilmuan murni.
Keterputusan epistemologi antara barat dan timur Islam ini tidak hanya terjadi pada kawasan filsafat belaka. Keterputusan tersebut merambah pula kawasan keilmuan lainnya, seperti fikih dan kalam. Adanya kritikan-kritikan yang sangat tajam dari Ibnu Bajah, Ibnu Thufail, Ibnu Hazm dan Ibnu Rusyd terhadap semua epistmik yang berasal dari timur Islam membuktikan adanya keterputusan tersebut. Kritikan-kritikan tersebut dipicu oleh karakteristik keilmuan timur yang tidak rasional dan kritis, berbeda dengan keilmuan yang berasal dari barat Islam.
Demi Sebuah Renaissance
 
Dengan demikian, rasionalitas dan kritisisme adalah trend pemikiran yang berkembang di Islam bagian barat. Keilmuan-keilmuan yang berkembang di barat Islam sangat menekankan pembenahan terhadap mekanisme qiyas dalam merumuskan hukum dan cara pandang separasi dan anti kausalitas terhadap alam yang merupakan karekteristik pemikiran yang ada di timur Islam.
Dari beberapa kritik terhadap turâts dan nalar Arab-Islam di atas, akhirnya Al-Jabiri menyimpulkan bahwa kebangkitan serta kemajuan umat Islam tidak akan tercapai tanpa memperkerjakan turâts Islam bagian barat dalam trend kebangkitan umat Islam. Dengan kata lain, yang harus kita lakukan saat ini adalah berusaha menggali jiwa kritis dan rasional dari turâts Islam bagian Barat demi terciptanya rasionalitas dalam menyikapi setiap problematika kontemporer. Caranya adalah menghidupkan kembali turâts-turâts yang mempunyai nilai rasional dan kritis tersebut, seperti pemikiran Ibnu Hazm dalam berfikih, rasionalisme Ibnu Rusyd dalam berfilsafat, Al-Syathibi dengan maqâshid syar‘inya dan rasionalitas nalar sejarah Ibnu Khaldun.
Gagasan Al-Jabiri ini tidak sepenuhnya dapat diterima oleh kalangan pemikir Islam. Mereka menganggap bahwa gagasan Al-Jabiri terhadap pentingnya fikih Ibnu Hazm, misalnya, merupakan bukti adanya unsur rasisme dalam pemikiran Al-Jabiri. Bagaimana mungkin Al-Jabiri mengaggap Ibnu Hazm sebagai simbol rasionalitas dalam beristinbath, padahal dalam kalangan para ahli fikih metode istinbath Ibnu Hazm dikenal sangat mengekang fungsi nalar. Alasan Al-Jabiri memasukkan Ibnu Hazm sebagai tokoh rasionalis dalam fikih hanya karena pemikirannya lebih dekat dengan Aristoteles, menurut banyak kalangan telah menunjukkan bahwa Al-Jabiri termasuk orang-orang yang ingin mewujudkan sentralisasi Eropa dalam setiap keilmuan Islam.


Ikhtitâm
            Tidak ada pemikiran yang paling sempurna di muka bumi ini. Kritisisme Al-Jabiri dalam menganalisa turâts Islam dan pemikiran-pemikiran yang ditawarkannya masih sangat debatable dan tidak bisa diterima begitu saja. Hanya saja, apa yang telah dilakukannya sangat bermanfaat bagi kita dalam mengkaji turâts Islam.(afa)
           
Tidak ada yang sempurna kecuali Tuhan Yang Maha Sempurna.




[i] Muhammad Abid Al-Jabiri, Isykâliyyât al-Fikr al-‘Araby al-Mu‘âshir, Markaz Dhirâsah al-Wihdah al-‘Arabiyah, Beirut, hal. 34.
[ii] Ibid., hal. 18.
3 Muhammad Abid Al-Jabiri, Wijhatu Nazhar, Markaz Dhirâsah al-Wihdah al-‘Arabiyah, Beirut, hal. 119.
4 Muhammad Abid Al-Jabiri, Nahnu wa al-Turâts, al-Markaz al -Tsaqâfi al-Arabi, Beirut, hal. 19.
5 Muhammad Abid Al-Jabiri, Al-Turâts wa al-Hadashah, al-Markaz al -Tsaqâfi al-Arabi, Beirut, hal. 26.
6 Muhammad Abid Al-Jabiri, Nahnu wa al-Turâts, op. cit. hal. 19.
7 Muhammad Abid Al-Jabiri, Isykâliyât al-Fikr al-‘Arabiy al-Mu‘âshir, op. cit. hal. 43.
8 Muhammad Abid Al-Jabiri, Nahnu wa al-Turâts, op. cit., hal. 20.
9 Muhammad Abid Al-Jabiri, Isykâliyât al-Fikr al-‘Arabiy al-Mu‘âshir, op. cit., hal. 21.
10 Ibid., hal. 23.
11 Ibid.
12 Ibid., hal. 70.
13 Ibid., hal. 29.
14 Ibid., hal. 31.
15 Ahmad Muhammad Salim Al-Barbary, Isykâliyah al-Turâts fî al-Fikr al-‘Arabiy al-Mu‘ashir: Dirâsah Muqâranah baina Hassan Hanafi wa Muhammad ‘Âbid Al-Jabiri, hal. 28.
16 Muhammad Abid Al-Jabiri, Al-Turâts wa al-Hadashah, op. cit., hal. 32.
17 Ibid.
18 Ibid.
19 Ibid.
20 Muhammad Abid Al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabiy, al-Markaz al -Tsaqâfi al-Arabi, Beirut,  hal.13.
21 Muhammad Abid Al-Jabiri, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabiy, hal. 116.
22 Muhammad Abid Al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabiy, op. cit., hal. 103.
23 Muhammad Abid Al-Jabiri, Takwîn al-‘Aql al-‘Araby, op. cit., hal. 117.
24 Ahmad Muhammad Salim Al-Barbary,  op. cit., hal. 285.
25 Muhammad Abid Al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Araby, op. cit., 242.
26 Ibid., hal. 251.
27 Ibid., hal. 282.
28 Ahmad Muhammad Salim Al-Barbary, op. cit., hal.

29 Muhammad Abid Al-Jabiri, Isykâliyât al-Fikr al-‘Araby al-Mu‘âshir, op. cit., hal. 60.